Thursday, January 1, 2009

Hanya itu yang bisa kulakukan....

Aku anak umur Tujuh tahun yang masih tudak mengerti apa itu persahabatan. Di saat aku naik kelas dua, ada anak bernama Lina yang mengajakku bermain.
"Namamu Kiko kan? Anak perempuan yang selalu duduk sendiri di kelas satu. Kenalkan, namaku Lina. Bolehkah aku jadi temanmu?" tanyanya.
"Umm... boleh deh." kataku ragu-ragu.
"Terima kasih, duduk bareng aku yuk..." katanya lagi tersenyum lebar. Akhirnya secara resmi kami menjadi teman. Kami sekelas terus sampai kelas 5. Di kelas 5 ini, daya tahan tubuhku mulai melemah. Memang, dari kecil dokter pun sudah memvonis aku menderita kanker paru-paru. Ini dikarenakan bapakku yang selalu merokok. Tapi aku tidak ingin membuat Lina khawatir dan terus ke sekolah. Tetapi, Allah S.W.T. telah menetapkan takdirku. Minggu depan aku mulai harus dirawat di Rumah Sakit secara intensif.

"Kiko! Kita main ke Dufan yuk! Terus habis itu kita main di taman dekat rumahmu..." katanya dengan riang. Aku pun tersenyum dan mengangguk menandakan 'IYA'. Dan hari itu pun tiba, kami berangkat ke Dufan bersama-sama orang tuaku. Aku sudah berkata kepada mereka untuk tidak mengatakan sepatah kata pun kepada Lina supaya ia tidak khawatir terhadap kondisiku.
"Lihat Lina! Kita sudah sampai di Dufan!" kataku kepadanya sambil berlari menuju gerbang tiket. Iibu telah memberiku uang untuk masuk dan bekal untuk dimakan. Sekarang jam 10.00 dan ibu akan menjemput kami jam 14.00 supaya kami masih sempat bermain di taman dekat rumahku. Rencananya juga Lina akan menginap malam itu. Karena tinggal besok saja aku bisa bertemu dengannya. Kami menaiki banyak wahana Dufan. Kami sangat senang hari itu. Di taman kami bermain ayunan seperti biasa. Tiba-tiba ada anak cowok yang lebih besar dan tua dariku menghampiri Lina. Mereka mulai memalak dan mendorong Lina dari ayunan.
"Hei kecil, kita mau main disini. Cepat pergi!" katanya sambil mendorong Lina. Tanpa sadar aku mendorong anak itu dari Lina.
"Kalau mau main gantian dong! Gak sopan tau kalau kayak gitu! Apalagi sama anak perempuan yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari kamu!" kataku dengan keberanian yang entah datang dari mana.
"Kurang ajar! Liat saja nanti kalau kita ketemu lagi!" katanya lari pulang.
"Kiko? Makasih banyak ya!" kata Lina tersenyum.
"Iya sama-sama. Kamu terluka ya? Sepertinya tanganmu tulangnya patah..." kataku khawatir dan memegang tangannya.
"Ah iya, tapi gak terlalu parah kok Kiko. Kamu gak usah khawatir..." katanya mencoba untuk tegar.
"Ayo kita pulang, nanti aku bisa memperbaninya...." kataku sambil membantunya berdiri.
"Makasih banyak ya Kiko. Hari ini sangat menyenangkan lho! Coba setiap harinya bisa main terus sama Kiko! Ahaha, kenapa aku ngomong kayak gini ya? Padahal aku tahu kamu akan terus berada di sisiku sebagai sahabatku!" katanya menahan tangisan yang hampir keluar.
"Ah iya, aku akan selalu menjadi sahabatmu..." kata-kata itu keluar tanpa aku menyadarinya. Aku terharu dengan kata-katanya, padahal aku tahu aku tidak akan hidup lama. Aku tahu bahwa orang yang menderita kanker tidak akan hidup lama. Tidak seperti Lina yang bisa terus hidup sampai tua.
"Kiko, aku laper nih... Pulang ke rumahmu yuk." katanya sambil meraba-raba perutnya.
"Oh iya, kita makan yuk!" Aku membantunya berdiri dan menuntunnya ke rumahku. Di sana kami makan sate ayam dan sayur asem bikinan ibuku yang sangat enak. Dan di malam harinya aku melilitkan perban dan kayu sebagai penyangga tangannya. Dan Lina pun tersenyum dan tidur. Aku masih terbangun, aku membayangkan akan apa yang akan terjadi nanti di rumah sakit. Dan apa yang akan dirasakan Lina kutinggalkan begitu saja tanpa memberitahunya. Aku pun memutuskan untuk menulis surat kepadanya malam itu.

Esoknya, Lina pulang dan aku bersiap-siap untuk pergi ke Rumah Sakit. Tak lama setelah aku membereskan bajuku, dadaku sesak dan aku tidak bisa bernafas dengan benar lagi. Aku pun memanggil ibu, dan tidur dengan lelap. Setelah aku sadar, yang kulihat adalah wajah ibuku yang khawatir dan infus yang menancap di tanganku. Aku sudah berada di Rumah Sakit.
"Kiko, kamu sudah bangun nak?" kata Ibuku mengusap kepalaku. Aku berusaha untuk menjawabnya tetapi tidak bisa, aku hanya mengangguk dan tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu kamu tidur lagi saja ya? Ibu mau memanggil Dokter dulu..." katanya beranjak dari tempat tidurku dan menutup pintu dengan pelan. Aku mulai menulis surat kepada Ibu, seandainya nanti aku akan pergi. Dokter pun masuk bersama Ibuku disampingnya.
"Selamat sore Kiko, bagaimana keadaanmu? Kita cek dulu ya?" katanya dengan sopan dan tersenyum. Ia melakukan berbagai macam pemeriksaan dan meninggalkanku sendirian lagi di kamar. Ibu mengikutinya keluar dari kamar. Entah kenapa aku merasa lebih ringan sekarang, aku juga merasa sudah waktunya aku pergi. Ibu mendatangiku dan teriak-teriak. Ah Ibu, aku tidak bisa mendengar kata-katamu lagi. Aku menunjuk kepada lemari dan tertidur pulas.

Hari pemakaman Kiko pun tiba, aku turut bersedih karenanya. Ia hanya hidup sesingkat itu dan tidak lagi tersenyum kepadaku. Dia terus melakukan apapun sampai aku bisa tersenyum. Aku juga masih ingat hari dimana kami bermain di taman. Ia dengan berani melawan orang-orang itu. Ibunya pun mendatangiku dan memberiku surat. Aku membuka surat itu dan membacanya.

Temanku tersayang dan Sahabatku pertama,

Aku minta maaf, aku tidak sempat memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak ingin kamu khawatir tentang keadaanku. Aku juga minta maaf karena aku tidak bisa banyak melakukan hal-hal yang berguna ataupun hal-hal yang bisa terkenang. Hanya inilah yang bisa kulakukan. Begitu juga saat-saat kita bersama adalah hal yang bisa kulakukan. Aku minta maaf, karena hanya itulah yang bisa kulakukan. Aku harap kamu bisa hidup bahagia walaupun aku tidak ada.

Salam terbaik dariku,
Kiko

Aku mulai meneteskan air mata. Aku tidak tahu harus berbuat apalagi, karena sekarang Kiko sudah tidak ada lagi. Didalam surat itu juga ada beberapa lembar kertas yang merupakan diarinya bersamaku. Aku membacanya dan tanpa sadar aku mulai menangis.
"Kiko! Kenapa kamu harus pergi sekarang?! Bukankah kamu janji akan selalu berada disampingku dan menjadi sahabatmu?! Kiko, maafkan aku karena aku tidak bisa membantumu lebih dari ini! Maafkan aku sahabat terbaik.... Maafkan aku!" Isak tangis mulai terdengar dari belakangku. Semuanya menangis, karena mereka juga tahu bahwa Kiko adalah anak yang baik.
Selamat jalan sahabatku, Lina akan selalu menyimpan kenangan kita di hati.

No comments: